INGREDIENTS #5
1. Corn
Source; https://www.pioneer.com/web/site/indonesia/Berita-Umum/asal-usul-tanaman-jagung-serta-persebarannya
Tanaman
jagung merupakan salah satu tanaman pangan pengahasil karbohidrat yang terpenting
di dunia, selain gandum dan juga padi. Untuk hal ini di beberapa negara seperti
di wilayah Amerika Tengah dan Selatan, bulir jagung menjadi makanan pokok. Dan
begitu juga dibeberapa wilayah Afrika dan Indonesia sendiri.
Dan
tidak hanya itu, jagung juga menjadi komponen yang penting untuk pakan ternak,
selain sebagai sumber makanan pokok, jagung juga diambil minyaknya dan bisa
pula diolah menjadi tepung. Beragam produk turunan hasil pengolahan jagung juga
menjadi bahan baku dalam sejumlah produk industri pangan.
Asal
Usul Tanaman Jagung Serta Persebarannya
Yang
berdasarkan petunjuk sejarah, dalam hal ini ilmu Arkeologi telah mengarah pada
budidaya jagung primitif di bagian selatan Meksiko, Amerika Tengah sejak 7000
tahun lalu. Hal ini dapat dilihat dari sisa-sisa tongkol jagung kuna yang
ditemukan di Gua Guila Naquitz, Lembah Oaxaca yang berusia sekitar 6250 tahun.
Dengan penemuan tongkol jagung utuh itu sekaligus menjadikannya sebagai tongkol
jagung tertua yang ditemukan di gua-gua dekat Tehuacan, Puebla, Meksiko yang
berusia sekitar 3450 SM.
Untuk
sementara itu, suku Olmek dan Maya diduga telah membudidayakan jagung di
seantero Amerika Tengah sejak 10.000 tahun yang lalau dan mengenal berbagai
teknik pengolahan hasil. Teknologi ini dibawa ke Ekuador, Amerika Selatan
sekitar 7000 tahun yang lalau, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru
pada 4000 tahun yang lalu. Pada saat itulah berkembang tanaman jagung yang
dapat beradaptasi dengan suhu rendah di kawasan Pegunungan Andes, kemudian
sejak 2500 SM, tanaman jagung telah dikenal di berbagai penjuru Benua Amerika.
Pada
jagung yang dibudidayakan dianggap sebagai keturunan langsung sejenis tanaman
rerumputan mirip jagung yang bernama teosinte “Zea mays ssp, parviglumis”,
dalam proses domestikasinya yang berlangsung paling tidak 7.000 tahun yang lalu
oleh penduduk asli setempat, yang masuk gen-gen dari sub spesies lain, terutama
Zea mays ssp, mexicana. Yang dalam istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk
menggambarkan semua spesies dalam genus Zea, kecuali Zea mays ssp. mays, yang
dalam proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies
tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam.
Hal
ini yang lalau berlanjut dengan kedatangan orang-orang Eropa ke benua Amerika
sejak akhir abad ke-15 dan membawa serta jenis-jenis jagung ke Dunia Lama, baik
ke Eropa maupun ke Asia. Pengembaraan jagung ke Asia semakin dipercepat dengan
terbukanya jalur barat yang dipelopori oleh armada laut pimpinan Ferdinand
Magellan yang melintasi Samudera Pasifik. Di tempat-tempat baru inilah tanaman
jagung relatif mudah beradaptasi karena tanaman ini memiliki plastisitas
fenotipe yang tinggi.
Untuk
di wilayah Nusantara sendiri, pada tanaman jagung diperkirakan masuk pada
sekitar abad ke-16 oleh penjelajah Portugis. Masukanya tanaman jagung di
Indonesia juag menimbulkan beragam macam penamaan untuk menyebut tanaman
jagung.
Kata
“jagung” sendiri merupakan singkatan dari kata “
Jawa Agung” atau dalam bahasa
Jawa yang memiliki arti “Jewawut Besar”, sementara itu di daerah lainnya di
Nusantara, penaman jagung ialah jagong “sunda, aceh, batak, ambon”, jago
“bima”, jhaghung “madura”, rigi “nias”, eyako “enggano”, wataru ” sumba”,
latung “flores”, fata “solor”, pena “timor”, gandung “toraja”, kastela
“halmahera”, telo “tidore”, binthe atau binde “gorontalo dan buol”, barelle
“bugis”, milu atau milho “dibeberapa kawasan di indonesia timur”.
2. Asam gelugur
Asam gelugur (Garcinia atroviridis Griffith
et Anders.) adalah pohon penghasil asam potong atau asam
keping. Asam potong diperoleh dari irisan buah asam gelugur yang dikeringkan
dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Asam potong dimanfaatkan
untuk bumbu masak, bahan perasa minuman, bahan dasar pengobatan
dan bahan dasar kosmetika. Sebagian masyarakat Melayu pesisir mengolah buah
asam gelugur ini menjadi manisan atau halwa untuk hidangan pada hari raya.
Tumbuhan asam gelugur ini masih sekerabat
dengan manggis dan asam kandis, dipercaya berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara. Asam gelugur dikatakan juga sebagai tumbuhan
abadi, karena dapat bertahan hidup sampai ratusan tahun, dan berbuah semakin
banyak. Satu batang tumbuhan asam gelugur yang sudah berumur lebih dari tiga puluh
tahun dapat menghasilkan buah sebanyak empat ratus kilogram dalam setahun.
Menurut ukuran dan sifat buahnya, asam
gelugur dibagi menjadi dua jenis: asam batu dan asam air. Asam batu buahnya
kecil-kecil (diameter 7–10 cm), bersifat berat seperti batu, serta tekstur
buahnya padat, liat dan cenderung kering. Satu kilogram asam potong berasal
dari empat kilogram asam batu. Sedangkan asam air buahnya besar-besar (diameter
10–14 cm), tidak seberat asam batu, serta tekstur buahnya lebih renyah,
kenyal dan berair. Satu kilogram asam potong berasal dari lima kilogram asam
air.
3. Kluwek
Kepayang atau keluak (Pangium
edule Reinw. ex Blume; suku Achariaceae, dulu dimasukkan dalam Flacourtiaceae) adalah pohon yang
tumbuh liar atau setengah liar penghasil bahan bumbu masak sejumlah masakan
Nusantara. Orang Sunda menyebutnya picung atau pucung,
orang Jawa menyebutnya pucung, kluwak, atau kluwek,
dan di Toraja disebut pamarrasan.
Biji keluak dipakai sebagai bumbu dapur masakan Indonesia yang memberi warna hitam pada rawon, daging bumbu
keluak, brongkos,
serta sup konro. Bijinya, yang memiliki salut biji yang dimanfaatkan, bila mentah sangat beracun
karena mengandung asam sianida dalam konsentrasi
tinggi. Bila dimakan dalam jumlah tertentu menyebabkan mabuk.
Racun pada biji kepayang dapat digunakan
sebagai racun untuk mata panah. Bijinya aman diolah untuk makanan bila telah
direbus dan direndam terlebih dahulu. Untuk memunculkan warna hitam, biji yang
telah direbus dan direndam akan dipendam dalam tanah (setelah dibungkus daun
pisang) selama beberapa hari.
Kayu tanaman ini juga bernilai ekonomi,
dengan berat jenis 450-1000 kg.m-3.
Ungkapan "mabuk kepayang" dalam
bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan untuk menggambarkan keadaan
seseorang yang sedang jatuh cinta sehingga tidak mampu berpikir secara
logis, seakan-akan habis memakan kepayang.
Komentar
Posting Komentar